Aku sangat mencintai laki-laki ini. . Aih, Aku seperti orang gila saat
aku mencoba mengingat kapan pertama kali aku mencintainya. Aku coba
memandangi daun beringin yang berayun-ayun di atas kami. Ia
menggeleng-geleng. Seolah mengacuhkan harapanku padanya untuk membantuku
kapan aku memulai mencintai laki-laki ini. Ah…aku harus tahu diri pada
pohon beringin ini. Ia telah rela akarnya diinjak oleh semen, bata, dan
pasir untuk sekedar memberikan nyaman saat kami duduk di bawahnya.
Ya,
aku memang tak pernah punya alasan, sebagaimana saat ini aku tak punya
alasan kenapa terik siang ini tak bisa kurasakan. Rasanya diriku seperti
didampingi oleh es. Dingi, Sejuk. Ya, Aku hanya bisa memberikan
kemungkinan. Mungkin karena aku ada di sampingnya. Di samping laki-laki
ini. Laki-laki yang sangat aku cintai
“menurutmu bagaimana jika
seorang lelaki menikahi seorang wanita yang sedang hamil sebagai penebus
rasa bersalahnya ? apakah itu haram ? bukankah itu lebih baik ketimbang
ia menelantarkannya tanpa perasaan ?” tiba-tiba saja ia bertanya
seperti itu. Sejenak ia memandangku, lalu bergeser ke arah Riko.
Ah, aku benar-benar tak punya alasan kenapa aku harus mencintainya. Yang
ku tau, tujuh tahun yang lalu aku telah mencintainya. Masih ku ingat
seragam yang kami kenakan. Putih abu-abu. Hah, masa-masa itu. Rasanya
ingin kuulangi lagi. Terlalu banyak kenangan di waktu yang singkat itu.
Sesingkat Namanya, namun bermakna. Sangat bermakna. Setia. Itu saja. Tak
ada lagi. Hanya itu.
Aku masih ingat saat dengan bangganya ia
menunjukkan namanya yang tertulis di ijazah SMA. Ia sangat bangga karena
namanya tertulis paling besar di antara semua teman-temanku. Ia
berkeliling menghampiri teman-teman satu per satu untuk membandingkan
ukuran tulisan namanya dengan teman-teman yang lain. Baiklah, aku akui.
Ia berhasil bangga sepenuhnya. Memang benar-benar tidak ada nama yang
lebih singkat dari namanya di kelasku.
Dia. Aih…ku mohon, jangan
paksa aku untuk mendeskripsikannya. Aku benar-benar tidak bisa. jika
saja aku bisa menyebutkannya, mungkin aku sudah punya alasan kenapa aku
mencintainya. Yang aku tau hanyalah kami selalu bersama sejak awal SMA.
Itulah anehnya. Meski kami selalu bersama, aku tetap sulit untuk
menggambarkannya. Bukan. Bukan cinta pada pandangan pertama. Entahlah.
Yang ku ingat dua tahun kemudian aku nekat bertanya padanya
“Menurutmu, bagaimana jika seorang wanita menyatakan cinta terlebih dahulu kepada laki-laki ?”
“Seharusnya wanita itu tau bahwa laki-laki mengagumi wanita karena harga dirinya.”
“Jadi maksudmu kau tak akan menerima wanita yang menyatakan cintanya terlebih dahulu kepadamu ?”
“Apa?!”
“a ? e…tidak. Lupakan saja.” Huh…aku memang ceroboh.
Kali ini Setia menjawab dengan sedikit gugup. “y ya…tergantung si.”
***
Aku selalu kagum melihat Setia memainkan gitar. Jarinya yang lentik
dengan fasihnya berpindah antara kunci nada satu ke kunci nada lainnya.
Ia pun selalu tampak bermain dengan sepenuh hatinya. Terkadang karena
aku terlalu menikmatinya, aku sampai lupa memulai bernyanyi. Ya, kami
punya grup band. Bukan sombong, band kami memang band yang diunggulkan
sekolah saat itu. Tapi bukan. Itu bukan alasan kenapa aku mencintainya.
Mungkin karena Setia adalah laki-laki pendiam, maka aku sulit
mengenalinya. Ia penuh dengan misteri. Marah pun tak pernah aku temui
selama dua tahun aku berteman dengannya. Selama aku mengenalnya, baru
sekali aku mendapatkan dia marah. Hanya sekali. Dan benar-benar hanya
sekali.
Tarrrr….!!! Tiba-tiba Setia mengambil stik drum dan
melemparnya hingga patah. Hampir saja mengenai jendela. “Sekarang apa
mau kalian ! Hah ?! Setiap aku bicara kalian tak pernah mendengarku.”
ini adalah pertama kalinya dia berbicara sambil berteriak. Namun hanya
sampai di situ. Setelah itu ia terdiam sejenak mengatur napas dan
berbicara lagi dengan nada yang rendah “Maaf. Saya minta maaf. Baiklah,
sekarang terserah kalian. Apakah kalian masih menginginkan band kita
atau justru memilih untuk bubar?” Setia langsung keluar dan mengengkol
motornya. Ini adalah kali pertama aku melihat Setia marah. Tidak. Aku
tidak takut ketika melihat dia marah. Melihatnya dan mengingatnya marah,
itu adalah hal yang begitu indah bagiku. Aku benar-benar menyukai
kemarahannya. Ya, dia begitu manis.
***
Aku berbeda. Kebanyakan
perempuan lebih suka bermain dan curhat kepada sesamanya. Tapi aku
tidak. Menurutku bermain dengan laki-laki itu lebih menyenangkan. Mereka
tak pernah memikirkan masalah berlarut-larut. Ketika mereka marah, ya
hanya saat itu saja marah. Selanjutnya, ah, tak ada yang perlu
dipikirkan lagi. Pun ketika mereka memberikan solusi mereka selalu
memikirkan baik dan buruknya. Tak terburu-buru berbicara seperti wanita.
Maka dari itu, aku lebih suka curhat dengan laki-laki. Khususnya pada
Setia. Tapi satu hal yang aku tidak suka. Setia tak pernah bercerita
tentang kejadian yang dialaminya padaku. Apakah aku bukan orang yang
bisa dipercaya ? huft…
Dan hari ini. Hari ini dia curhat kepadaku untuk pertama kalinya.
“Ya sudahlah Set, wanita tak hanya satu. Apalagi kuantitas laki-laki
itu lebih terbatas ketimbang perempuan. Jadi kau tak perlu khawatir
tidak kebagian wanita. Justru wanitalah yang harus khawatir bagaimana
jika dia tidak mendapatkan laki-laki.” Jawabku sekenanya.
“Tenang saja. Tak perlu khawatir. Kalau kamu memang tidak kebagian, aku siap menampungmu.”
“Apa?!”
“Becanda.” Ujar Setia sambil menekan kecil kepala kiriku.
Semenjak percakapan itu, aku semakin mengharapkannya. Aku selalu
menunggu Setia. Memang, aku selalu berkomitmen untuk tidak akan pernah
pacaran. Aku ingin hatiku hanya untuk seorang saja seumur hidupku. Cinta
pertama dan terakhir. begitulah cita-citaku. Tapi Setia, aku tahu dia
tidak sepertiku. Sudah dua kali dia berganti pacar. jika dia memang
orang yang memiliki hatiku, aku tau aku bukan orang yang pertama
untuknya. Jika dipikir, aku memang rugi. Aku sudah bertahan untuknya,
sedangkan dia? Tapi tak apa. aku tau tak ada yang sempurna di dunia ini.
Aku paham, setiap orang punya pemikiran yang berbeda.
“Hm…mungkin
akan lucu kalau kita memanggil teman sesuai tanggal lahirnya. Meka, dia
lebih tua satu bulan dariku. Bagaimana jika aku memanggilnya mbak Meka ?
lalu Farid, mas Farid. Lusi, Dek Lusi. M…dan kamu. Hm...mbak Ara?
A..tidak tidak. Mungkin lebih enak Dek Ara. Seperti ayah memanggil ibu.”
“Apa? Kenapa?”
“a…hahahahaha. Lucu lucu.” Dia hanya tertawa. Aku tak mengerti.
Ah, hal sepele ini. Aku selalu memikirkan semua yang keluar dari Setia.
Bahkan sampai yang paling spele sekalipun. Tapi kenapa kali ini dia
tidak menjawab pertanyaanku ? jelas-jelas aku lebih tua satu tahun dari
dia. Tidak hanya dari dia. Aku memang siswa tertua di kelasku. Tak ada
yang lebih tua dariku. Dan…Ayah dan Ibu ? apa maksudnya?
***
Aku
benar-benar hampir gila. Aku selalu mengharapkannya. Aku selalu menunggu
Setia menyatakan cintanya padaku. Hah…bahkan mungkin dia memang tak
pernah menyadari bahwa aku menyukainya. Andai saja dia menyatakan cinta
padaku, aku berjanji akan menunggunya sampai kapanpun. Aih…aku serasa
sedang bermain sinetron.
“Becanda.” Hm…aku selalu mengingat kata itu
dari Setia. Mungkin dia memang benar-benar becanda waktu itu. Aku
terlalu GR. Bahkan mungkin dia sudah melupakannya. Sudahlah, mulai saat
ini aku akan mencari-cari kekurangannya. Untuk apa aku menunggu orang
yang tak ingin ditunggu?
Ya. Dia. Usianya jelas lebih muda dariku.
pacarnya juga banyak. Lalu…lalu apa lagi ? aku terus
berpikir.aaaarrrrggg…!!! Sudahlah. Semakin aku mencari-cari
kekurangannya, semakin banyak kebaikan yang aku temukan. Usia. Apa
salahnya jika usianya lebih muda dariku ? pacar ? aku tahu, tidak ada
yang sempurna di dunia ini. Hah…terlalu norakkah?
***
Ini
kesempatan terakhir. Aku berharap dia sengaja menyatakan cinta untukku
di saat perpisahan agar aku menunggunya. sudah aku persiapkan jawaban
untuknya. Aku terus menunggu. Hingga akhirnya tinggal aku sendiri di
aula ini. Tidak ada siapa pun. Juga Setia. Dia benar-benar memang
becanda waktu itu. Ha…aku memang terlalu berimajinasi.
Aku langkahkan kakiku keluar dari aula. Sepi. Tiba-tiba ada seseorang mengejutkanku.
“Ara?”
Aku mencari sumber suara itu.“Setia?” jantungku berdetak kencang. Sangat kencang.
“Belum pulang ? mau aku antar?”
“A? o, nggak. Aku sedang ditunggu bunda di depan.”
“O, begitu. Ya sudah. Aku duluan ya? Hati-hati.”
Ada rasa kecewa. Tapi…Huft…aku memang benar-benar berimajinasi.
***
Mungkin suatu kebetulan. Aku bertemu Setia kembali di Universitas yang sama. Hanya beda jurusan.
Di sini, aku mulai memutuskan untuk berkecimpuh ke dalam organisasi
yang berasaskan syariat islam. Juga Setia. Dan aku tetap tidak bisa
membenci Setia. Meskipun banyak rekan-rekan seperjuangan yang
lebih…ya..bisa dikatakan lebih alim dari Setia. Ya, setia memang tidak
seperti…di Indonesia biasanya disebut ikhwan. Walaupun dalam arti yang
sebenarnya adalah saudara laki-laki. Baiklah, Setia tidak seperti ikhwan
lainnya yang sangat fanatik mematuhi Syariat. Teman-temannya tidak
melulu para ikhwan. Bahkan teman nongkrongnya di perempatan lebih
banyak. Bisa dikatakan mungkin dia di posisi tengah-tengah.
Ya,
sampai saat ini sudah ada tiga ikhwan yang mengkhitbahku. Tapi aku belum
bisa menerima mereka semua. Aku tidak pernah bermaksud sombong. Hanya
saja aku tak ingin mereka hidup bersama orang yang tidak mencintai
mereka. Karena hatiku masih untuk Setia. Sampai saat ini. Aku
benar-benar setia menunggunya.
“Tapi yang namanya hukum, apa pun
alasannya tetap haram lah Set. Bahkan jika kita masih menjalankan
syariat yang sebenarnya, mereka harus dicambuk seratus kali.” Jawab
Riko.
Setia terdiam sesaat.ia menarik napas panjang.”Dulu, aku
pernah memiliki perasaan kepada teman SMA. Dia bertanya tentang
bagaimana jika seorang wanita menyatakan cintanya terlebih dulu kepada
laki-laki. Jujur aku menyesal kenapa aku menjawab sikap itu tidaklah
baik. ah, seandainya waktu itu aku paham tentang kisah Siti Khodijah dan
Rosulullah. Haha. Tapi mungkin aku saja yang ke-GR-an. Bisa saja dia
menanyakan hal itu karena dia ingin menyatakan cintanya pada laki-laki
lain. Semenjak itu, aku selalu menunggunya. berharap yang dia maksud
adalah diriku. Tapi ternyata sampai perpisahan sekolah, bahkan sampai
saat ini pun dia tidak menyatakannya padaku. Aku benar-benar GR. Bahkan
mungkin saat ini dia sudah lupa.”
Aku tersentak mendengar ceritanya.
“Kenapa tidak kau saja yang mengatakan padanya?”
Setia tersenyum. “Dia terlalu indah untukku. Aku bukan orang baik. Dia
terlalu baik. Orang baik-baik selayaknya mendapatkan orang baik-baik
juga. Aku tak kan bersamanya jika bukan dia sendiri yang memintaku untuk
bersamanya. Aku tak pantas memaksanya. Hatinya belum pernah terbagi
untuk laki-laki lain. Sedangkan aku ? ah…aku tak boleh egois. Aku tak
kan tega jika hanya memberikan sisa hatiku. Karna sebelumnya aku sudah
berbagi hati kepada wanita lain. Yang jelas, laki-laki yang menjadi
suaminya, dia adalah laki-laki yang beruntung.”
“Kenapa kamu seperti
itu ? bahkan kamu belum mencobanya. Kamu terlalu sok tau. Bagaimana
kalau ternyata dia juga menyukaimu ? setidaknya kamu tahu jawaban
darinya.”
“Sudahlah. Aku pikir dia memang sudah lupa. Karena hal itu memang spele. Aku rasa pertanyaannya itu untuk laki-laki lain.”
“lalu apa hubungannya dengan pertanyaanmu tadi ?”
Setia menyodorkan dua kertas undangan.” Ini hanya untuk melindunginya
dari kucilan orang lain. Orang-orang akan menganggap kami sudah menikah.
Setelah dia melahirkan nanti, kami baru akan akad.
Usianya memang
jauh lebih tua dariku. tapi aku sudah mantap untuk menunggunya. Tak apa.
aku sudah terbiasa menunggu. Lima tahun menunggu wanita yang aku sukai
bukan waktu yang singkat. Dan ini hanya satu tahun. Mungkin kalian
kecewa. Ini juga bukan kemauanku. Aku khilaf. Maafkan aku. Dan Karena
itulah, aku semakin mantap untuk tidak lagi mengharapkan wanita yang aku
sukai itu. Aku terlalu jauh jika disejajarkan dengannya. Ku harap
kalian bisa datang di pestaku besok. Assalamu’alaikum.” Setia berlalu
meninggalkan kami berdua dengan terburu-buru.
Riko mengejar Setia. Sayup-sayup suara mereka. Entah apa yang mereka bicarakan.
Dan, lima tahun ? kau bilang itu sangat lama ? bahkan aku lebih dari itu.
Ada rasa sesak yang terjaring. Kerongkongan ini serasa tersekat untuk
bersuara. Seperti ada yang mengiris tenggorokanku. Terik yang sedari
tadi tak kurasa, kini tiba-tiba menjadi kering. Aku seperti merasakan
dehidrasi di tengah gurun. Kering, sesak. Bukan, bukan karena Setia akan
menikahi wanita lain. Bukan itu. Tapi entah karena apa. Aku memang
orang yang tak pandai memberikan alasan.
Aku mencoba tenang. Aku hirup napas panjang-panjang sambil memejamkan mata. Aku menjawab lirih.
“Wa’alikumsalam…”
Oleh Ema Luthfiani
bangkit
Kutandai Lafalmu
Written By asdasd on Rabu, 09 April 2014 | 02.49
Related Articles
If you enjoyed this article just click here, or subscribe to receive more great content just like it.
0 komentar:
Posting Komentar