Selamat Datang Di Situs Kami : Dimensi Motivasi bangkit wibisono
Home » , , » Kutandai Lafalmu

Kutandai Lafalmu

Written By asdasd on Rabu, 09 April 2014 | 02.49

Aku sangat mencintai laki-laki ini. . Aih, Aku seperti orang gila saat aku mencoba mengingat kapan pertama kali aku mencintainya. Aku coba memandangi daun beringin yang berayun-ayun di atas kami. Ia menggeleng-geleng. Seolah mengacuhkan harapanku padanya untuk membantuku kapan aku memulai mencintai laki-laki ini. Ah…aku harus tahu diri pada pohon beringin ini. Ia telah rela akarnya diinjak oleh semen, bata, dan pasir untuk sekedar memberikan nyaman saat kami duduk di bawahnya.
Ya, aku memang tak pernah punya alasan, sebagaimana saat ini aku tak punya alasan kenapa terik siang ini tak bisa kurasakan. Rasanya diriku seperti didampingi oleh es. Dingi, Sejuk. Ya, Aku hanya bisa memberikan kemungkinan. Mungkin karena aku ada di sampingnya. Di samping laki-laki ini. Laki-laki yang sangat aku cintai
“menurutmu bagaimana jika seorang lelaki menikahi seorang wanita yang sedang hamil sebagai penebus rasa bersalahnya ? apakah itu haram ? bukankah itu lebih baik ketimbang ia menelantarkannya tanpa perasaan ?” tiba-tiba saja ia bertanya seperti itu. Sejenak ia memandangku, lalu bergeser ke arah Riko.
Ah, aku benar-benar tak punya alasan kenapa aku harus mencintainya. Yang ku tau, tujuh tahun yang lalu aku telah mencintainya. Masih ku ingat seragam yang kami kenakan. Putih abu-abu. Hah, masa-masa itu. Rasanya ingin kuulangi lagi. Terlalu banyak kenangan di waktu yang singkat itu. Sesingkat Namanya, namun bermakna. Sangat bermakna. Setia. Itu saja. Tak ada lagi. Hanya itu.
Aku masih ingat saat dengan bangganya ia menunjukkan namanya yang tertulis di ijazah SMA. Ia sangat bangga karena namanya tertulis paling besar di antara semua teman-temanku. Ia berkeliling menghampiri teman-teman satu per satu untuk membandingkan ukuran tulisan namanya dengan teman-teman yang lain. Baiklah, aku akui. Ia berhasil bangga sepenuhnya. Memang benar-benar tidak ada nama yang lebih singkat dari namanya di kelasku.
Dia. Aih…ku mohon, jangan paksa aku untuk mendeskripsikannya. Aku benar-benar tidak bisa. jika saja aku bisa menyebutkannya, mungkin aku sudah punya alasan kenapa aku mencintainya. Yang aku tau hanyalah kami selalu bersama sejak awal SMA. Itulah anehnya. Meski kami selalu bersama, aku tetap sulit untuk menggambarkannya. Bukan. Bukan cinta pada pandangan pertama. Entahlah. Yang ku ingat dua tahun kemudian aku nekat bertanya padanya
“Menurutmu, bagaimana jika seorang wanita menyatakan cinta terlebih dahulu kepada laki-laki ?”
“Seharusnya wanita itu tau bahwa laki-laki mengagumi wanita karena harga dirinya.”
“Jadi maksudmu kau tak akan menerima wanita yang menyatakan cintanya terlebih dahulu kepadamu ?”
“Apa?!”
“a ? e…tidak. Lupakan saja.” Huh…aku memang ceroboh.
Kali ini Setia menjawab dengan sedikit gugup. “y ya…tergantung si.”
***
Aku selalu kagum melihat Setia memainkan gitar. Jarinya yang lentik dengan fasihnya berpindah antara kunci nada satu ke kunci nada lainnya. Ia pun selalu tampak bermain dengan sepenuh hatinya. Terkadang karena aku terlalu menikmatinya, aku sampai lupa memulai bernyanyi. Ya, kami punya grup band. Bukan sombong, band kami memang band yang diunggulkan sekolah saat itu. Tapi bukan. Itu bukan alasan kenapa aku mencintainya.
Mungkin karena Setia adalah laki-laki pendiam, maka aku sulit mengenalinya. Ia penuh dengan misteri. Marah pun tak pernah aku temui selama dua tahun aku berteman dengannya. Selama aku mengenalnya, baru sekali aku mendapatkan dia marah. Hanya sekali. Dan benar-benar hanya sekali.
Tarrrr….!!! Tiba-tiba Setia mengambil stik drum dan melemparnya hingga patah. Hampir saja mengenai jendela. “Sekarang apa mau kalian ! Hah ?! Setiap aku bicara kalian tak pernah mendengarku.” ini adalah pertama kalinya dia berbicara sambil berteriak. Namun hanya sampai di situ. Setelah itu ia terdiam sejenak mengatur napas dan berbicara lagi dengan nada yang rendah “Maaf. Saya minta maaf. Baiklah, sekarang terserah kalian. Apakah kalian masih menginginkan band kita atau justru memilih untuk bubar?” Setia langsung keluar dan mengengkol motornya. Ini adalah kali pertama aku melihat Setia marah. Tidak. Aku tidak takut ketika melihat dia marah. Melihatnya dan mengingatnya marah, itu adalah hal yang begitu indah bagiku. Aku benar-benar menyukai kemarahannya. Ya, dia begitu manis.
***
Aku berbeda. Kebanyakan perempuan lebih suka bermain dan curhat kepada sesamanya. Tapi aku tidak. Menurutku bermain dengan laki-laki itu lebih menyenangkan. Mereka tak pernah memikirkan masalah berlarut-larut. Ketika mereka marah, ya hanya saat itu saja marah. Selanjutnya, ah, tak ada yang perlu dipikirkan lagi. Pun ketika mereka memberikan solusi mereka selalu memikirkan baik dan buruknya. Tak terburu-buru berbicara seperti wanita. Maka dari itu, aku lebih suka curhat dengan laki-laki. Khususnya pada Setia. Tapi satu hal yang aku tidak suka. Setia tak pernah bercerita tentang kejadian yang dialaminya padaku. Apakah aku bukan orang yang bisa dipercaya ? huft…
Dan hari ini. Hari ini dia curhat kepadaku untuk pertama kalinya.
“Ya sudahlah Set, wanita tak hanya satu. Apalagi kuantitas laki-laki itu lebih terbatas ketimbang perempuan. Jadi kau tak perlu khawatir tidak kebagian wanita. Justru wanitalah yang harus khawatir bagaimana jika dia tidak mendapatkan laki-laki.” Jawabku sekenanya.
“Tenang saja. Tak perlu khawatir. Kalau kamu memang tidak kebagian, aku siap menampungmu.”
“Apa?!”
“Becanda.” Ujar Setia sambil menekan kecil kepala kiriku.
Semenjak percakapan itu, aku semakin mengharapkannya. Aku selalu menunggu Setia. Memang, aku selalu berkomitmen untuk tidak akan pernah pacaran. Aku ingin hatiku hanya untuk seorang saja seumur hidupku. Cinta pertama dan terakhir. begitulah cita-citaku. Tapi Setia, aku tahu dia tidak sepertiku. Sudah dua kali dia berganti pacar. jika dia memang orang yang memiliki hatiku, aku tau aku bukan orang yang pertama untuknya. Jika dipikir, aku memang rugi. Aku sudah bertahan untuknya, sedangkan dia? Tapi tak apa. aku tau tak ada yang sempurna di dunia ini. Aku paham, setiap orang punya pemikiran yang berbeda.
“Hm…mungkin akan lucu kalau kita memanggil teman sesuai tanggal lahirnya. Meka, dia lebih tua satu bulan dariku. Bagaimana jika aku memanggilnya mbak Meka ? lalu Farid, mas Farid. Lusi, Dek Lusi. M…dan kamu. Hm...mbak Ara? A..tidak tidak. Mungkin lebih enak Dek Ara. Seperti ayah memanggil ibu.”
“Apa? Kenapa?”
“a…hahahahaha. Lucu lucu.” Dia hanya tertawa. Aku tak mengerti.
Ah, hal sepele ini. Aku selalu memikirkan semua yang keluar dari Setia. Bahkan sampai yang paling spele sekalipun. Tapi kenapa kali ini dia tidak menjawab pertanyaanku ? jelas-jelas aku lebih tua satu tahun dari dia. Tidak hanya dari dia. Aku memang siswa tertua di kelasku. Tak ada yang lebih tua dariku. Dan…Ayah dan Ibu ? apa maksudnya?
***
Aku benar-benar hampir gila. Aku selalu mengharapkannya. Aku selalu menunggu Setia menyatakan cintanya padaku. Hah…bahkan mungkin dia memang tak pernah menyadari bahwa aku menyukainya. Andai saja dia menyatakan cinta padaku, aku berjanji akan menunggunya sampai kapanpun. Aih…aku serasa sedang bermain sinetron.
“Becanda.” Hm…aku selalu mengingat kata itu dari Setia. Mungkin dia memang benar-benar becanda waktu itu. Aku terlalu GR. Bahkan mungkin dia sudah melupakannya. Sudahlah, mulai saat ini aku akan mencari-cari kekurangannya. Untuk apa aku menunggu orang yang tak ingin ditunggu?
Ya. Dia. Usianya jelas lebih muda dariku. pacarnya juga banyak. Lalu…lalu apa lagi ? aku terus berpikir.aaaarrrrggg…!!! Sudahlah. Semakin aku mencari-cari kekurangannya, semakin banyak kebaikan yang aku temukan. Usia. Apa salahnya jika usianya lebih muda dariku ? pacar ? aku tahu, tidak ada yang sempurna di dunia ini. Hah…terlalu norakkah?
***
Ini kesempatan terakhir. Aku berharap dia sengaja menyatakan cinta untukku di saat perpisahan agar aku menunggunya. sudah aku persiapkan jawaban untuknya. Aku terus menunggu. Hingga akhirnya tinggal aku sendiri di aula ini. Tidak ada siapa pun. Juga Setia. Dia benar-benar memang becanda waktu itu. Ha…aku memang terlalu berimajinasi.
Aku langkahkan kakiku keluar dari aula. Sepi. Tiba-tiba ada seseorang mengejutkanku.
“Ara?”
Aku mencari sumber suara itu.“Setia?” jantungku berdetak kencang. Sangat kencang.
“Belum pulang ? mau aku antar?”
“A? o, nggak. Aku sedang ditunggu bunda di depan.”
“O, begitu. Ya sudah. Aku duluan ya? Hati-hati.”
Ada rasa kecewa. Tapi…Huft…aku memang benar-benar berimajinasi.
***
Mungkin suatu kebetulan. Aku bertemu Setia kembali di Universitas yang sama. Hanya beda jurusan.
Di sini, aku mulai memutuskan untuk berkecimpuh ke dalam organisasi yang berasaskan syariat islam. Juga Setia. Dan aku tetap tidak bisa membenci Setia. Meskipun banyak rekan-rekan seperjuangan yang lebih…ya..bisa dikatakan lebih alim dari Setia. Ya, setia memang tidak seperti…di Indonesia biasanya disebut ikhwan. Walaupun dalam arti yang sebenarnya adalah saudara laki-laki. Baiklah, Setia tidak seperti ikhwan lainnya yang sangat fanatik mematuhi Syariat. Teman-temannya tidak melulu para ikhwan. Bahkan teman nongkrongnya di perempatan lebih banyak. Bisa dikatakan mungkin dia di posisi tengah-tengah.
Ya, sampai saat ini sudah ada tiga ikhwan yang mengkhitbahku. Tapi aku belum bisa menerima mereka semua. Aku tidak pernah bermaksud sombong. Hanya saja aku tak ingin mereka hidup bersama orang yang tidak mencintai mereka. Karena hatiku masih untuk Setia. Sampai saat ini. Aku benar-benar setia menunggunya.
“Tapi yang namanya hukum, apa pun alasannya tetap haram lah Set. Bahkan jika kita masih menjalankan syariat yang sebenarnya, mereka harus dicambuk seratus kali.” Jawab Riko.
Setia terdiam sesaat.ia menarik napas panjang.”Dulu, aku pernah memiliki perasaan kepada teman SMA. Dia bertanya tentang bagaimana jika seorang wanita menyatakan cintanya terlebih dulu kepada laki-laki. Jujur aku menyesal kenapa aku menjawab sikap itu tidaklah baik. ah, seandainya waktu itu aku paham tentang kisah Siti Khodijah dan Rosulullah. Haha. Tapi mungkin aku saja yang ke-GR-an. Bisa saja dia menanyakan hal itu karena dia ingin menyatakan cintanya pada laki-laki lain. Semenjak itu, aku selalu menunggunya. berharap yang dia maksud adalah diriku. Tapi ternyata sampai perpisahan sekolah, bahkan sampai saat ini pun dia tidak menyatakannya padaku. Aku benar-benar GR. Bahkan mungkin saat ini dia sudah lupa.”
Aku tersentak mendengar ceritanya.
“Kenapa tidak kau saja yang mengatakan padanya?”
Setia tersenyum. “Dia terlalu indah untukku. Aku bukan orang baik. Dia terlalu baik. Orang baik-baik selayaknya mendapatkan orang baik-baik juga. Aku tak kan bersamanya jika bukan dia sendiri yang memintaku untuk bersamanya. Aku tak pantas memaksanya. Hatinya belum pernah terbagi untuk laki-laki lain. Sedangkan aku ? ah…aku tak boleh egois. Aku tak kan tega jika hanya memberikan sisa hatiku. Karna sebelumnya aku sudah berbagi hati kepada wanita lain. Yang jelas, laki-laki yang menjadi suaminya, dia adalah laki-laki yang beruntung.”
“Kenapa kamu seperti itu ? bahkan kamu belum mencobanya. Kamu terlalu sok tau. Bagaimana kalau ternyata dia juga menyukaimu ? setidaknya kamu tahu jawaban darinya.”
“Sudahlah. Aku pikir dia memang sudah lupa. Karena hal itu memang spele. Aku rasa pertanyaannya itu untuk laki-laki lain.”
“lalu apa hubungannya dengan pertanyaanmu tadi ?”
Setia menyodorkan dua kertas undangan.” Ini hanya untuk melindunginya dari kucilan orang lain. Orang-orang akan menganggap kami sudah menikah. Setelah dia melahirkan nanti, kami baru akan akad.
Usianya memang jauh lebih tua dariku. tapi aku sudah mantap untuk menunggunya. Tak apa. aku sudah terbiasa menunggu. Lima tahun menunggu wanita yang aku sukai bukan waktu yang singkat. Dan ini hanya satu tahun. Mungkin kalian kecewa. Ini juga bukan kemauanku. Aku khilaf. Maafkan aku. Dan Karena itulah, aku semakin mantap untuk tidak lagi mengharapkan wanita yang aku sukai itu. Aku terlalu jauh jika disejajarkan dengannya. Ku harap kalian bisa datang di pestaku besok. Assalamu’alaikum.” Setia berlalu meninggalkan kami berdua dengan terburu-buru.
Riko mengejar Setia. Sayup-sayup suara mereka. Entah apa yang mereka bicarakan.
Dan, lima tahun ? kau bilang itu sangat lama ? bahkan aku lebih dari itu.
Ada rasa sesak yang terjaring. Kerongkongan ini serasa tersekat untuk bersuara. Seperti ada yang mengiris tenggorokanku. Terik yang sedari tadi tak kurasa, kini tiba-tiba menjadi kering. Aku seperti merasakan dehidrasi di tengah gurun. Kering, sesak. Bukan, bukan karena Setia akan menikahi wanita lain. Bukan itu. Tapi entah karena apa. Aku memang orang yang tak pandai memberikan alasan.
Aku mencoba tenang. Aku hirup napas panjang-panjang sambil memejamkan mata. Aku menjawab lirih.
“Wa’alikumsalam…”

Oleh Ema Luthfiani bangkit
Share this article :

0 komentar:

Posting Komentar

Posting Baru

 
Support : Toko Tensai | Bangkitwibisono | Morosakato
Copyright © 2013. Dimensi Motivasi - All Rights Reserved
Template Created by Bangkit Wibisono Published by Morosakato
Proudly powered by Google