Selamat Datang Di Situs Kami : Dimensi Motivasi bangkit wibisono
Home » , , » Bidadari, Kembalilah

Bidadari, Kembalilah

Written By asdasd on Rabu, 09 April 2014 | 02.53


Mengapa ?
Dan sekali ini ia benar-benar ingin protes. Hasrat itu benar-benar muncul dari himpitan hatinya yang tak bernyali. Sama sekali. Betapa ia ingin protes di hadapan-Nya. Bahkan semua yang ia harapkan tak ada yang ia semai. Seketika itu ia merasa bahwa ia memang tak pernah patut mendapatkan apa yang ia harapkan. Dan karena itu ia hampir selalu menepiskan semua harapan-harapan. Seolah ia tahu, bahwa ending dari semua harapannya pastilah tak terwujud. Andai saja lakonnya yang ada di tangan-Nya bisa ia obrak-abrik.
Lalu kenapa pula selama ini ia berjuang mati-matian, hingga tak terhitung lagi olehnya berapa kali ia harus sementara seolah menjadi petinju professional?
Sembab. Itu yang sering ia dapati ketika mengadakan pertemuan pribadi dengan selapis cermin di hadapannya setelah hidup-hidupan ia mempertahankan syariat yang pernah ia pelajari. Bukankah itu semua ia lakukan untuk-Nya semata? Ah, ia sendiri pun sadar bahwa hatinya memang mudah goyah.
Ia merapatkan tubuhnya di depan pintu kamarnya, memberikan jalan untuk Ayu yang sedang sibuk bolak-balik seperti dirinya, memasukkan barang-barang ke dalam kamar. Tepat di sebelah kiri kamarnya.
Duh…Robbi. Kenapa masih saja kau mempercayakanku untuk menitipkannya padaku? Tidak cukupkah Kau membuatku lelah selama masa SMA dulu hidup bersamanya? Aku sudah pernah katakan “aku bosan” kepada-Mu. Tak ingin lagi berpaling menghadapnya. Tak ingin lagi mendengar suaranya. Tidakkah Kau mendengarku waktu itu? Dan kini Kau tetap ngotot mentakdirkanku untuk kembali bersamanya padaku kembali dalam satu atap? Fiuh…Kenapa? Begitu kata batinnya.
Ia tak menghitung berapa kali ia berpapasan dengan Ayu. Namun kali ini adalah senyum pertama yang ia terima dari Ayu sejak tadi. Senyum itu, ah…tak sesejuk senyumnya yang dulu. Senyum yang selalu memburatkan pelangi ukhuwah yang seolah menjadi tali warna-warni untuk dapat menggamit mujahidah calon jundi-jundi bidadari surga untuk dirangkulnya sebanyak-banyaknya, seluas-luasnya.
“Hidayah itu memang mahal Nin. Jika Dia memang tak berkehendak, maka tak ada seorang pun yang bisa memaksakan hidayah itu. Kau tahu dulu aku seperti apa. Dan Alhamdulillah Allah mempertemukan sahabat-sahabat seperti kalian. Aku sudah mantap dengan keputusan yang aku ambil ini. Rangkul aku kembali saat aku terjatuh.” Begitu tegas dan lugasnya kalimat itu muncul dari bibir sang keras kepala seperti Ayu. Nina yakin, prinsip yang telah dipegang oleh sang keras kepala pastilah kokoh dan tak mudah ditumbangkan oleh apa pun dan siapa pun.
Sungguh beruntung takdirnya. Rautnya yang sudah tercermin dari namanya, prestasi yang membuat orang lain iri, ia pun memilikinya, keluarganya yang berkecukupan dan melek pendidikan, keterampilannya berorganisasi yang tak ada yang berani menragukannya, dan yang satu ini, hidayah yang memeluknya dengan manja. Wis…begitu sempurnanya kebahagiannya. Begitu beruntungnya ia. Begitu beruntungnya Ayu.
Bahkan ketika Nina mendengar fitnah tentang seorang ikhwan yang katanya diam-diam mempunyai hubungan spesial dengan Ayu, Nina tidak dengan mudah percaya begitu saja dan memastikanlangsung kepada Ayu. Betapa melegakannya ketika Ayu mengatakan, “Iya. Dia memang sering sok perhatian lewat SMS. Yah…sesekali aku balas agar tidak dikira terlalu sombong. Tapi aku tidak tahu kalau gosipnya sampai seheboh ini.”
“Iya, bahkan mereka bilang kalau kalian telah pacaran secara islami. Memang ada ya?”
“Pacaran islami? Jelas-jelas aku dan dia belum menikah. Bagaimana bisa dibilang pacaran islami? Iya si. Pacaran islami memang ada. Maksudnya pacaran yang menurut syar’i. ya setelah pernikahan tentunya kan?”
“he. Betul juga. Jadi gossip itu beneran bukan fakta kan?”
Ayu tersenyum. Senyum semacam itu, senyum keistiqomahan. “Aku bukan orang bodoh yang rela menangis atau bersumpah mati untuk calon bangkai yang sama sekali tidak abadi.” Begitu tegas Ayu membuatnya mantap. Ah, lagi, Ayu membuatnya kagum, iri, atau apalah itu.
***
Hm…begitu tentram rasanya saat duduk di tengah-tengah bidadari-bidadari surga. Rasanya meski tak ada secarik rupiah yang setia menjadi seolah jin dompet, asalkan bersama mereka hati pun telah merasa kaya. Melimpah ruah rasanya kekayaan itu. Apalagi saat melihat perjuangan para mujahidah untuk terus mencari ummat agar barisan semakin rapat. Duh…wahai langit, wahai bumi, tidakkah kalian iri?
“Liqo’ yuk…?”begitu manis ajakan itu keluar dari bibir Ayu kepada setiap perempuan yang ia temui. Dia memang tak pernah alpha untuk menghadiri liqo’ maupun tarbiyah. Semangatnya, ugh…benar-benar luar biasa.
Namun berkas yang dulu mengiblatkan perak cahayanya, berkejap-kejap di langit yang berarak awan-awan tembaga, tiba-tiba berubah menjadi gulungan-gulungan magnesium yang kusut. Berjelaga. Sebab terbakar oleh lilin yang merendah karena lelehnya hingga menyambar berkas-berkas itu.
Sontak hati Nina telah habis ketika salah satu situs jejaring social yang ia ikuti menampilkan percakapan antara Ayu dan seorang laki-laki.
Makasi ya, sayang…(Ayu)
(^_^) I miss u (Fais)

Tangannya seketika itu gemetar. Bibirnya tak kuasa bersuara meski untuk berbunyi ‘A’.
“Katanya si mereka udah jadian.” Kata Fani ketika Nina menceritakan kesaksiannya.
“Ah, itu kan udah rahasia umum.” Kata Yongki.
“Idih….masak kamu baru tahu si? Mereka itu udah lama tau. Emang Ayu sebenernya udah suka kan dari dulu?” kata Neni teman sekelas Ayu.
Sesak yang tadinya hanya menyesak di hati, kini menjalar ke paru-paru. Masih ia ingat semangat dakwah Ayu dulu, masih ia ingat prinsip-prinsip Ayu yang membuatnya kagum hingga kadang berlebihan.
Sebongkah kecewa menelusup ke dalam hatinya. Ada hasrat kebencian yang menghujam begitu dalam terhadap kemunafikan yang ia rasakan. Semuanya menyerangnya satu-satu.
Tapi tidak! Tidakklah bijaksana jika ia menghakiminya seperti itu. Seketika rentetan pertanyaan berkelebatan di pikirannya
Lalu, sudah berapa lamakah? Kenapa bisa kemalingan seperti ini? Siapa yang salah? Sebegitu sadiskah ia tak memberi banyak perhatian kepada sahabatnya? Sebegitu jauhkah jarak antara mereka hingga Ayu tampak kekurangan kasih sayang dan menerima kasih sayang dari orang yang tidak tepat? Ah, bahkan kamar Ayu dengannya hanya bersebelahan. O…atau mungkin ia terlalu gengsi untuk mengungkapkan bahwa ia sangat mencintai sahabatnya, ia sangat menyayangi sahabatnya. Sebegitu kakukah untuk menjujurkan keromantisan antarsahabat baginya?
Langsung ia teringat saat terjadi banyak keanehan yang ditampakkan Ayu. Mungkin dulu karena Ayu belum disibukkan dengan berbagai kesibukan, maka Ayu tampak bersemangat dan menggebu-gebu mengajak teman untuk menghadiri Tarbiyah. Tapi saat itu, “Maaf Nin, hari ini aku latihan. Seminggu lagi aku lomba.” Kata Ayu terburu-buru.
“Tapi latihan kan satu jam lagi Yu,” Jawab Nina.
“Aku butuh istirahat Nina…” jawab Ayu sewot dan segera meninggalkan Nina begitu saja.
Di hari yang berbeda, “Yu, yuk berang…” belum selesai Nina mengucapkan kalimatnya, Ayu sudah menyabetnya, “Hari ini ada rapat KIR. Aku nggak bisa ikut kajian.” Jawab Ayu tanpa menatap wajah Nina dan berlalu begitu saja.
Ayu selalu tampak menghindar. Meskipun ia memang benar-benar sibuk.
“Yu, hari ini kan kamu nggak ada acara, liqo’ yuk…” ajak Nina lembut.
“Cucianku di kosan numpuk. Belum nyetrika juga. semuanya numpuk gara-gara ditinggal banyak kegiatan.”
Nina hanya menarik napas panjang. Ia duduk di kursi yang memang disediakan di bawah pohon beringin. Baiklah, dia memaklumi. Ayu memang siswa penting di SMA ini. Siapa yang tidak membutuhkan dia? Ia sangat sibuk. Bahkan terkadang sampai lupa makan. Ia maklumi itu semua. Tapi tiba-tiba ia teringat, “Sesibuk apa pun, siapakah sebenarnya kita ini hingga berani menomorduakan urusan agama?” Ah, sudahkah kau melupakan ucapanmu itu, Ayu? Katanya dalam hati.
Dan peristiwa mengagetkan ini. Inikah akibat dari perubahanmu selama ini? Oh…betapa cerobohnya aku menjadi seorang sahabat. Gumamnya.
***
Bulan seolah melirik di berbagai sudut. Bersiap melepaskan malaikat beterbangan ke sudut-sudut yang menjeritkan air mata penghambaan di gelap yang mencekam. Sunyi. Namun sunyi itu pecah kala sayup-sayup terdengar cikikan kecil binal, nakal. Perlahan Nina menghentakkan kakinya menuju sumber bunyi itu. Pukul dua malam.
“hik…hik…hik….masak si? M…kamu juga kok yang. Bla bla bla….”
Jantungnya serasa disayat-sayat dengan pisau berkarat. Ayu…begitukah kau menemukan kebahagiaanmu? Bahagiakah kau dengan seperti itu. Cairan hangat turun dari sudut gelap matanya. Sesak. Suara itu begitu mencekik baginya.
Seperti segumpal dosa yang melumatnya ketika ia membiarkan saudaranya terjatuh begitu saja. Tak pantas baginya meninggalkan saudaranya setelah ia tahu saudaranya telah terjatuh. Sedangkan dengan sadisnya ia enggan mengulurkan tangannya untuk menarik saudaranya agar kembali berdiri meski tertatih. Sejak itu, ia selalu sibuk mencari cara untuk mengingatkan Ayu. Ia sudah konsultasi kepada Mbak Yeyen, Murobbinya, tentu saja mbak Yeyen sangat terkejut setelah tahu kader dakwah bimbingannya yang ia andalkan ternyata tiba-tiba tersandung kerikil dan mendeprok memeluk dikerendahan. Ya, mau bagaimana lagi?
Lalu dengan cara pelan-pelan ia mulai dari sering mengirimkan SMS tausiyah yang berkaitan dengan yang dialami Ayu, memberikan kado buku-buku tentang betapa urgent-nya memanagemen hati, mengirimkan artikel-artikel yang berkaitan lewat email maupun jejaring social, dan masih banyak lagi usaha-usaha yang ia lakukan. Tapi apa ? usahanya selama ini setitik pun tak menunjukkan pengaruh apa pun.
Ah, dia bukan orang yang pandai berbicara. Dia bukan pemilik nyali yang begitu kuat untuk sekedar menanyakan kenapa? Sosok ayu itu, terlalu keras untuk bisa diretakkan kehendaknya. Hm…tak ada cara yang lebih nekat lagi. Ia akan menuliskan surat untuk Ayu. Ini adalah cara paling nekat baginya.
Hampir semalaman ia berpikir untuk merangkai kalimat suratnya agar tidak beresiko besar namun bisa diterima Ayu dengan sedalam-dalamnya.

Untuk mujahidah sholehah pengabdi barisan dakwah
Semula aku menemukan separas bidadari surga yang membuatku iri. Andai saja aku ditakdirkan seperti dirinya, aih…betapa beruntungnya diriku. Ia begitu teguh menggenggam erat prinsip-prinsip syariat. Ia begitu tegar melawan semua zombie-zombie pencuri otak dan hati dengan berbagai senjata menakjubkan yang ia miliki. Ia menggandeng tanganku begitu hangat, manis, selalu ada kenyamanan ketika jari-jari ini bersentuhan dengan jari-jari mujahidah sholehah sepertinya. Senyumnya. Senyumnya begitu menyejukkan. Seperti hujan lebat yang menyiram rumput yang telah mengering setelah merintih karena kemarau panjang. Dan kau tahu siapakah dia? Dirimu. Dirimulah bidadari hujan penyiram rumput itu. Namamu seolah do’a. kau memang begitu ayu. Tak hanya parasmu. Namun juga hatimu.
Tapi kau tau? Rumput itu tiba-tiba harus kecewa kala hujan yang menghijaukannya telah berhenti begitu saja tanpa memperdulikan lagi sang rumput. Ternyata hujan membias menuju pelangi. Pelangi itu memang begitu indah. Ia tak hanya punya warna hijau seperti rumput. Merah, jingga, kuning, semuanya. Pelangi itu punya segalanya. Tapi seandainya hujan tahu bahwa meski ia mengejarnya sampai di mana pun, maka pelangi itu pun tak pernah bisa ia tangkap. Karna ia hanya semu, dan hanya tersenyum sebentar saja. Sementara meski sang rumput telah tercabik hatinya oleh hujan, sang rumput tetap bijaksana untuk tetap setia menunggu hujan kembali merengkuhnya meski sempat ia rasakan cemburu.
Dan akulah rumput itu. Akulah rumput yang pernah kecewa kepada bidadari hujan. Cemburu mengepak-epak hatiku kala jari-jari sejuk itu kini tak lagi menggamit jari-jariku. Namun kecewa itu kini berubah menjadi harap. Berharap kau pulang meninggalkan pelangi.
Ayu, aku mencintaimu. Aku menyayangimu. Trimalah surat cintaku ini. Aku tahu kau bukan wanita bodoh yang tak mengerti hukum syari’at. Fais adalah pelangi untukmu. Ia memang indah. Tapi tidak sadarkah bahwa pelangi begitu pandai hingga tak sadar bahwa ia adalah penipu? Kurang ajar sekali bukan?
Pulanglah Ayu. Pulanglah, ada aku di sini yang setia menjadi pundak penopang keluhmu, kesahmu, sedihmu, manjamu, semuanya. Katakan padaku, apa yang kau mau? Akan aku berikan asalkan kau tak meminta pelangi padaku.
Ayu, aku mencintaimu karena Allah…

Ur sista
Nina

Ia selipkan suratnya lewat celah bawah pintu kamar Ayu saat Ayu sedang tidur. Begitu besar harapnya meletup-letup dari hatinya agar Nina kembali. Ia yakin, akan ada pengaruh melalui cara langsungnya ini.
Ya, firasatnya begitu tajam. Memang benar, ada pengaruh besar terjadi pada Ayu. Tapi sayang, pengaruh itu bukan seperti yang ia harapkan. Ia tak menyangka bahwa tegurannya ini justru menjadi dorongan antara Nina dan Fais untuk lebih menampakkan keromantisan. Entah karena Nina salah memahami isi suratnya, ataukah karena ia ingin membuktikan bahwa cinta mereka tak akan tergoyahkan sedikit pun meski pada badai tsunami sebesar apa pun. Oh…beginikah yang disebut cinta memang buta? Apa? Cinta? Yakinkah ini cinta?
***
Tiba-tiba ada segunung energy keberanian menumpuk di jiwa Nina setelah ia menyaksikan Ayu pulang diantarkan oleh seorang laki-laki. Ya, tepat sekali. Laki-laki itu adalah Fais.
“Apa maksudmu dengan ini semua?” ujar Ayu di depan pintu kamarnya ketika Ayu sedang membuka gembok pintu kamarnya.
“Yang mana?”
“Hah! Bahkan kau bersandiwara seperti gadis bodoh!”
“Apa maksudmu dengan mengataiku bodoh?!” kali ini Ayu berbicara dengan oktaf yang lebih tinggi.
“Apa maksud hubunganmu dengan Fais?”
“Kami? Kami hanya taaruf.”
“Taaruf? Hah, sebegitu cepatkah kalian ingin mengakhiri masa lajang kalian? Berapa hari lagi pernikahan itu?”
“Tidak ada ketentuan waktu untuk bertaaruf. Jika pada umumnya hanya beberapa minggu atau bulan, maka kami juga bisa melakukannya bertahun-tahun.”
“Bahkan aku tidak menyangka kalau ternyata kau adalah gadis bodoh yang sangat kekanak-kanakan mengartikan taaruf.”
Emosi ayu menaik. Baru saja ia menganga membuka bibirnya untuk membalas kalimat Nina, namun ia kalah cepat dengan Nina. Nina tak ingin memberikan kesempatan kepada Ayu untuk menjawab.
“Kau sangat picik menyelewengkan taaruf yang tidak semestinya. Jangan-jangan kau akan mengatakan pacaran kalian ini adalah pacaran islami dan setelah itu kau akan mengatakan tidak ada salahnya pacaran secara islami itu pun kalau saja kau sudah lupa bahwa kau pernah menjelaskannya padaku satu tahun yang lalu.”
“Kami tidak pacaran.”
“Telfon-telfonan tengah malam hingga berjam-jam dengan topik pembicaraan yang tidak penting kau bilang itu bukan pacaran?”
“Kami tidak pacaran. Hanya berdiskusi. Kau pasti tahu tentang hukum menyembunyikan ilmu dari orang yang menanyakannya, bukan?”
“Dalam keadaan seperti ini kau masih bisa beralasan dengan dalil? Lalu apa yang kalian diskusikan? Menyusun strategi mengalahkan Israel untuk membantu Palestina hingga tidak ada selesainya dan selalu berlanjut seperti masalah kedua Negara itu yang tidak ada selesainya? Atau…”
“Cukup Nin. Kami tidak pacaran. Kami hanya…”
“Berduaan di tempat sepi hingga maghrib kau bilang itu bukan pacaran? Berboncengan sambil bermesra-mesraan kau bilang itu bukan pacaran? Saling tukar kado, SMS-an menanyakan hal-hal yang sama sekali tidak penting itu bukan pacaran?”
“Cukup Nin. Kami tidak pacaran!”
“Baiklah. Mungkin namanya bukan pacaran. Tapi perilaku kalian menyerupai pacaran. Perilaku kalian menyerupai zina. Pacaran adalah realisasi dari zina. Dan aku tau akan sangat kasar bila aku menyebut kalian zina. Bukankah aku sangat baik karena memilihkan sebutan yang terdengar lebih enak untuk kalian? Hah, Kau benar-benar lemah!”
Nina mencoba setegar mungkin mengucapkan kalimat itu. Ia tahu semua kalimat yang ia katakan tadi pastilah menyakitkan bagi Ayu.
“Ya! aku memang lemah. Tapi kau tidak berhak memvonis bahwa aku salah dan aku tak pantas berdakwah hanya karena merasakan cinta. Kalau kau memang keberatan memiliki teman dakwah yang lemah, baiklah, aku mundur. Tempat dakwah tak sesempit di sampingmu. Aku masih bisa melangkah di tempat lain yang dengan ikhlas menerimaku apa adanya.” Ayu bergegas masuk ke dalam kamar sambil membanting pintu sekeras-kerasnya.
Kelopak mata Nina mengembang menyembulkan air mata setelah sedetik kemudian ia mendengar azan maghrib mulai berkumandang. Seolah mengusap-usap punggungnya tanda memberikan ketegaran.
***
Kebencian yang sangat membuncah di hatinya semenjak pertengkaran itu seolah memantapkan pencampakan cintanya kepada Ayu. Pengungkapan cintanya benar-benar dimuntahkannya begitu saja. Tak ingin lagi ia menatap wajah yang dulu baginya memang ayu. Tak ingin lagi ia mendengar segala macam suara yang keluar dari bibir itu. Tak ingin. Diam-diam ia berdo’a semoga tak pernah lagi ia dipertemukan dengan Ayu. Ayu adalah beban moral untuknya. Tak ingin. Benar-benar tak ingin.
Tapi sekarang. Oh…kenapa senyum Ayu pun masih saja tak puas menyiksanya? Berat ia mengangkat kedua sudut bibirnya untuk membalas senyum Ayu. Tapi baru saja ia terbangun. Alangkah sombongnya ia jika ia tak lagi menerima Ayu sebagai temannya hanya karena ia tak sepaham lagi dengannya. Alangkah elitnya jiwa raganya jika tak mau lagi menerima kesalahan yang bagaimana pun Ayu juga manusia. Sama sepertinya. Manusia yang hatinnya begitu mudah terbolak-balik hingga menyebabkan berbagai jenis lupa. Memang siapakah dirinya tak mau menerima Ayu untuk tetap menjadi temannya? Terlalu sucikah dirinya? Tak ada dosa secuilkah dirinya hingga ia harus merasa malu berteman dengan Ayu? Ya, tak sepantasnya ia begitu. Kau memang benar. Manusia tidak bisa memaksakan hidayah kepada seseorang. Hanya Allahlah Maha memutuskan segalanya. Kata hatinya memantapkan.Dan kini dengan legawa ia melepas senyum seutuhnya untuk Ayu. Tak ada lagi yang menyekat keduat sudut bibirnya itu untuk menaikkannya dengan sepenuhnya.

Oleh Ema Luthfiani
bangkit
Share this article :

0 komentar:

Posting Komentar

Posting Baru

 
Support : Toko Tensai | Bangkitwibisono | Morosakato
Copyright © 2013. Dimensi Motivasi - All Rights Reserved
Template Created by Bangkit Wibisono Published by Morosakato
Proudly powered by Google