Selamat Datang Di Situs Kami : Dimensi Motivasi bangkit wibisono
Home » , , » Sepotong Cermin Pada Hujan

Sepotong Cermin Pada Hujan

Written By asdasd on Rabu, 09 April 2014 | 02.21

“Orang dewasa itu punya pemikiran yang berbeda dengan kita Mey. Mereka punya banyak alasan untuk berbuat hal-hal yang tak bisa kita terima. Dan banyak hal yang kita tak perlu tau dari urusan mereka. Jalani saja apa yang menurut kita masih masuk akal.” 
 
***
 
 Di luar hujan. Nampaknya langit turut merasakan perih atas perdebatan tadi. Dingin. Kalau sudah begini kota ini selalu lengang. Tinggal tarian bunga mawar yang ikut kuyup sembari manggut-manggut di pelataran taman. “Nay, hujan.” Ben datang membawa payung. “Aku tau.” Kembali sepi. Nampaknya mereka masih menyimpan kemelut. “Biarkan aku basah dan pergilah.” Ben mengadu gigi-giginya. Memaksakan diri tersenyum “Kau suka hujan?” “...” “Tapi hujan menyimpan petir, Nay.” Belum ada jawaban lagi dari Nay. Ben berusaha sabar. Menghela napas. “Aku hanya tak ingin terpisah darimu. Aku yakin kau tak kan hidup tanpaku.” Ben menguncupkan payungnya. Halilintar makin mengamuk. Kilat mencari perhatian dengan akar-akarnya. Hujan makin runcing menghujamkan jarum-jarumnya. Mengubur air mata Nay. Turut hanyut dan bermuara entah ke mana. *** Dia sangat periang. Memang melankolis. Itu katanya. Tapi sekalipun aku tak pernah melihat dia menangis. Saking periangnya segala tingkahnya seperti anak SD. 
 
Didukung lagi bentuk tubuhnya seperti itu. lihat saja. Pipinya sangat gembul. Badannya hanya sepundakku. Jilbabnya selalu pakai jilbab model artis cilik saat musim hari raya. Suaranya sangat lembut seperti personil teletubbies yang berwarna merah. Siapa? Po. Yah. Po. Menggemaskan! Tapi tidak. Dia tidak seperti apa yang bisa kau lihat. Kedewasaannya hanya bisa dilihat dan dirasakan oleh orang-orang yang paham dengannya. “Mey, katakan bahwa aku saja yang selalu ingin kau ingatkan.” Ah, sangat menggelikan. Persahabatan kami seperti sepasang kekasih. Saling mengingatkan sudah makan atau belum, say Love you lewat sms, dan saling memberikan kejutan. “Mey, aku sering kecewa dengan sahabat dekatku yang lalu. Tapi kau tidak. Aku hanya bisa bercerita pada orang yang menurutku dekat.” Rasanya seperti di ‘Dor’. Mungkin bahasa kerennya ditembak pacar. “Kau sudah ganti peluru berapa kali Nay? Jago nyepeak juga ya. Jangan-jangan ada banyak cinta selain aku” “hahaha. Kalau iya gimana?” “Kalau iya bersiaplah kukecewakan.” Sambil senyum aku memeluknya. Senjata paling ampuh. Nay tidak suka dipeluk. Akan berubah 180 derajat kasar untuk menangkis pelukan. Aku bahkan rela bekorban apa pun untuknya. Hah, hubungan macam apa ini. Ku kira belum pernah ada serial cinta ataupun sinetron macam ini. Kalaupun ada judulnya pasti bisa ditebak. Lesbi! Oh, tidak! Judul seperti itu sama sekali tidak seksi untuk kisah kami. Dia, dia yang selalu kupandang kehidupannya sangat bahagia. 
 
Penuh kasih sayang dan cinta dari orang-orang yang ia cintai. Penuh kecup dan jeweran rindu untuk keceriaannya. Untuk pipi gembulnya dan gigi putihnya yang selalu dipamerkannya. *** “Ni...lihat...” Nay datang ke kamarku sambil memakai princess long dress warna pink. Dia melebarkan dressnya dan berputar-putar. Bergaya centil di depan kacaku. Itu long dress pemberian ibunya yang baru saja datang menjenguknya di asrama. Lagi-lagi aku iri. Ibu Nay sangat sering menjenguk Nay. Membawakan hadiah, masakan yang masih hangat, snack, atau sekedar cekikikan berdua di ruang tamu. Ah, mereka selalu hangat. Ayahnya pun juga sering menjenguknya. Nay cukup katakan pusing lewat telpon, tak perlu menunggu lama Ayah Nay akan datang dengan mobil sedannya sambil membawa puluhan tusuk sate, susu dan makanan bergizi lainnya. Ya, menurutku ayahnya sangat mengkhawatirkannya. Nampaknya Nay anak emas di keluarganya. Kakaknya yang laki-laki pun selalu datang menjenguk dan memamerkan novel-novel terbaru yang baru ia beli. Juga film-film terbaru yang baru ia tonton. Nay selalu nampak manja dengan wajah irinya karena ia sudah jarang melakukan aktivitas seperti kakaknya semenjak terperangkap di bangunan yang sombong ini, asrama. “Kau beruntung sekali ya?” Begitulah yang aku katakan pada Nay setiap ada anggota keluarga Nay yang menjenguk Nay. ah, Nay. Ia tak pernah punya ceramah untukku. Setiap aku berkata seperti itu, Nay hanya menepuk pundakku sambil tersenyum. Nay, senyum seperti itu, sungguh mengubur semua imut manjamu yang biasa tampak. Sangat. Sangat ibu. Ku kira aku tak pernah salah untuk iri padanya. Hidupnya memang benar-benar bahagia. Kau harus percaya itu. Nay itu gadis yang sangat tulus. Klasiknya, dia selalu meninggalkan kepentingan pribadinya untuk kepentingan oang banyak. Dia bercerita semua pengorbanannya demi melaksanakan amanah yang ada padanya. “Nay, kau lelah. Tidurlah. Biar besok saja aku bantu.” “Ini tugasku Mey. Kalau sudah selesai aku pasti akan bebas Mey.” “Atau akan aku adukan pada ayahmu?” “Mey, percuma aku jarang belajar kalau amanahku ini tidak maksimal. Kau bilang Tuhan akan menolong urusan kita jika kita melestarikan kebaikan-Nya kan?” Ah Nay, kau terlalu baik untuk menjadi keras kepala. Ya, Nay memang cerita banyak hal kepadaku. Semuanya. Tentang kejadian dari dia bangun tidur sampai tidur lagi aku tau semuanya. Termasuk tentang masalah kuliahnya yang terbengkalai karena amanahnya di salah satu organisasi. 
 
Aku pun demikian. Aku selalu ceritakan semuanya. Terutama untuk mengenang kebahagiaanku saat dulu ibu masih ada. Betapa dulu kebahagiaanku sangat sempurna saat keluargaku masih utuh. Aku mengenang kebaikan-kebaikan ibu. Kemesraan-kemesraan ayah dan ibu. Kisah-kisah mengharukan bersama ayah dan ibu, dan perasaan betapa aku kehilangan saat ibu telah dipanggil Tuhan. Betapa semuanya kini hilang. Hanya ada kenangan. Dan rasa iri setiap melihat teman-teman yang bisa berkecup mesra bersama ayah dan ibunya saat berpisah di ruang tamu asrama. Dan satu lagi, aku sangat iri pada Nay yang menurutku dia memiliki keluarga paling bahagia dari pada teman-temanku yang lain. Aku malu. Tanganku tak pernah terpakai untuk mengusap air matanya tapi Nay selalu menampung air mataku dan menepuk punggungku. “Mey, sebenarnya kesedihan itu akan terkubur dengan selalu merasa bahagia. Katakan saja bahwa kau bahagia. Maka kau akan bahagia. Ekspresikan perkataanmu dan kau akan merasakan apa yang kau ungkapkan. Bisa jadi yang menurutmu menyedihkan justru itu lebih membahagiakan bagi orang yang menurutmu sangat bahagia.” Waw...ini kali pertama Nay berpetuah banyak untukku. *** Awalnya aku kira Nay hanya anemia. Aku menemukan Nay nyaris limbung saat bangkit dari duduk. Bibirnya sangat pucat. “Tidak. Aku ingin berobat di klinik biasanya dekat rumahku bersama ibu.” *** “Nay. Kau bohong kan ingin berobat bersama ibumu? Bilang saja kalau kau tak mau berobat. Apa bedanya berobat bersamaku atau ibumu. Bukankah ayahmu sangat peduli denganmu? Ini sudah tiga bulan dan kau masih belum berobat juga. Kau ingin mati?” “Mey, hanya sakit kepala tak akan membuat mati.” “sudalah. Berobat sekarang bersamaku!” “Aku akan berobat bersama ibu.” “Sudah lupakan berobat bersama ibu.” “Nggak.” “Ayo.” “Nggak mau. Sama ibu.” “Cepat.” “Nggak mau.” “Nay!!!” aku terpaksa membentaknya. Kami sama-sama terpaku dalam diam. Napas Nay terdengar satu-satu. Aku dan Nay tertunduk. Aku melihat air mata Nay jatuh ke lantai. Untuk yang petama kali. “Aku ingin berobat bersama ibu. Setelah itu aku tidak akan meminta lagi.” Suara Nay sambil sesenggukan. Aku pergi meninggalkan Nay. Menyimpan seribu tanya. Air mata pertamanya di hadapanku begitu berwibawa untuk kubantah *** Pekan ini aku sengaja menyusul Nay untuk kembali ke asrama. Tapi langit begitu mengerikan tampangnya. Gelap. Angin pun sempat membuat jilbabku nyaris lepas. tapi aku tetap bertekad untuk menyusul Nay. Setelah turun dari angkutan umum, ah, kan, sudah mulai gerimis. Tapi tak apa. Aku menyusuri nomor rumah seperti yang diberikan Nay. Tak jauh dari hadapanku. Tapi aku dikejutkan dengan sosok laki-laki yang terburu-buru membuka pintu sedannya dan menutup kasar serta melaju cepat. Penuh emosi. Aku tak salah lihat. Itu tadi ayah Nay. “Kau lihat? Kalau kau memilih untuk bersama ayah, nasibmu akan sama seperti ibu. Kau akan tertekan hidup bersama ayah. Setiap hari hanya bisa mengamuk dan menyalahkan orang lain.” “Itu kehidupan orang dewasa kak. 
 
Orang dewasa punya pemikiran yang berbeda dengan kita. Mereka punya alasan untuk seperti itu.” “Lalu kau pikir ayah tak akan memperlakukanmu selayaknya dia memperlakukan ibu?” “Lalu Kakak pikir aku salah jika aku memperdulikan ayah?” “Apa ibu kurang menyayangimu selama ini?” “Tidak. Ibu bahkan lebih mencintaiku dari pada yang lain kan?” “Lalu?” “Justru karna ibu sangat mencintai semua orang maka sudah banyak yang mempedulikan ibu. Lalu siapa yang akan mempedulikan ayah?” “Kenapa harus memperdulikan ayah?” “Dan kenapa dilarang memperdulikan ayah?” “Karena sudah sepantasnya laki-laki itu menerima ini semua” “Tapi dia tetap ayah. Kita akan tetap memanggil dia ayah.” “Kita akan tetap memanggil dia ayah tapi tidak untuk memperdulikannya. Dengar!” Genting mulai berdenting terpukul hujan. Kilat mulai menyambar-nyambar. Aku masih berada di depan pintu rumah Nay. Nay tertunduk. Menangis. “Ibu, lima tahun yang lalu aku melihat sosok ayah yang sangat tampan. Pakaiannya rapi dan badannya berisi. Empat tahun yang lalu aku lihat rambut ayah tak terurus. Lalu tiga tahun yang lalu sampai sekarang, ayah semakin kurus dan selalu pucat. Ayah pasti pernah sakit. Dulu pasti ibu dengan sabar merawat ayah meski harus menghadapi kekasaran ayah. Tapi sekarang? Tidak ada seorangpun yang menyisir rambutnya. Menyetrika pakaiannya, dan menyiapkan sarapan untuknya. Aku sangat menghargai pemikiran kalian. Aku tak ingin ikut campur keputusan kalian. Dan aku tau, ibu pasti lebih paham. Ayah tetaplah ayah Nay. Dan Nay adalah anaknya. Biar aku saja yang tinggal di sini untuk mengurus ayah. Ibu, kakak dan adik berangkatlah bersama-sama ke luar kota. Aku akan tinggal. Bersama ayah. Di luar dari masalah kalian berdua, kami adalah anak dan ayah. Ku mohon biarkan aku tinggal. Biar aku yang datang menjenguk kalian jika aku rindu.” Ibu Nay diam. Tangisnya sesak tak bisa berkata. Kakak Ben melanjutkan mencak-mencaknya di hadapan Nay. Aku tau, Nay tak tahan. Ia keluar menuju halaman depan. Sedangkan hujan sangat lebat. Ia tak sadar melewati aku yang sejak tadi berdiri di samping pintu. Tangisnya tak bersuara. Tubuhnya menungkup. “Nay, hujan.” Ben datang membawa payung. “Aku tau.” Kembali sepi. 
 
Nampaknya mereka masih menyimpan kemelut. “Biarkan aku basah dan pergilah.” Ben mengadu gigi-giginya. Memaksakan diri tersenyum “Kau suka hujan?” “...” “Tapi hujan menyimpan petir, Nay.” Belum ada jawaban lagi dari Nay. Ben berusaha sabar. Menghela napas. “Aku hanya tak ingin terpisah darimu. Aku yakin kau tak kan hidup tanpaku.” Ben menguncupkan payungnya. Kuputuskan untuk meninggalkan mereka. *** “Kau ingat? Kau bilang, apa yang menurutmu menyedihkan bisa jadi justru hal yang lebih membahagiakan bagi orang yang menurutmu lebih bahagia. Hm...ternyata aku beruntung ya Nay.” Nay hanya tersenyum sambi melipat pakaian. Ia nampak pucat. “Kepalamu masih sakit Nay?” Nay mengangguk. “Bukankah kemarin pekan pulang? Belum sempat bilang ke ibu lagi ya?” Nay tersenyum lagi. “Aku sahabat dekatmu kan Nay?” “....” “Kenapa tak mau berobat denganku?” “Aku ingin berobat bersama ibu. Setelah itu aku tidak akan meminta lagi.” “Harus begitu? Kenapa? Aku sahabat dekatmu kan? Kau tak akan bercerita apa pun kepada orang lain kecuali denganku kan?” Nay diam. Lagi-lagi hanya tersenyum. Ya, seharusnya aku tidak perlu bertanya lagi. Aku tau alasannya. Tapi bukankah aku sahabat dekatnya?
 
Oleh Ema Lutfhiani
bangkit
Share this article :

0 komentar:

Posting Komentar

Posting Baru

 
Support : Toko Tensai | Bangkitwibisono | Morosakato
Copyright © 2013. Dimensi Motivasi - All Rights Reserved
Template Created by Bangkit Wibisono Published by Morosakato
Proudly powered by Google